By Edhi Caroko dan M. Agus Yozami | |
ADA pemandangan baru di kawasan Pasar Baru, Jakarta. Terutama di bekas reruntuhan pertokoan King Plaza yang terbakar pada 1997. Sisa bangunan tua yang sudah tak terurus pun mulai dibongkar hingga ke pondasinya. Rupanya, di sana tengah ada pembangunan. Rencananya, di atas areal seluas 7.700 meter persegi itu akan dibangun Pasar Baru Residence, apartemen dua menara setinggi 33 lantai. Kendati pembangunannya baru digiatkan, tapi pihak PT Trikarya Idea Sakti sudah gencar berpromosi, bahkan sejak awal bulan ini. Strategi yang sebenarnya lazim dilakukan banyak pengembang. Kapasitas menara kembar ini menampung sebanyak 550 unit apartemen, yang setiap unitnya dipasarkan antara Rp 300 juta hingga Rp 700 juta. Targetnya, dalam tiga tahun ke depan, Pasar Baru Residence sudah siap huni. Bila Pasar Baru Residence telah berdiri, bisa dibayangkan, akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kawasan perbelanjaan yang telah berdiri selama 286 tahun itu. Setidaknya, Pasar Baru akan menjelma menjadi kawasan modern yang megah. Dan yang tak kalah menariknya adalah sosok yang berada di belakang pembangunan menara kembar senilai Rp 170 miliar itu, yakni King Yuwono. ”Sejak saat itu saya benar-benar tiarap,” tutur King. Langkah ini perlu dilakukannya, bukan semata-mata karena dampak kerugian yang harus ditanggung akibat musibah itu. King memang harus rela kehilangan gedung senilai US$ 26 juta. Gara-gara musibah ini juga berbuntut terhadap utangnya ke sejumlah bank bernilai puluhan miliar jadi macet. Belum lagi ia harus mengganti uang sewa yang telah diterimanya dari 100 tenant, yang nilainya sekitar Rp 1 miliar per bulan. Nah, persoalan kala itu yang membuat King sakit hati, terkait dengan isu yang menyudutkan dirinya: ia dituduh sengaja membakar King Plaza dengan motif akan memperoleh uang pengganti dari asuransi. Lebih dari itu, ia juga disinyalir kabur ke Singapura. Dasarnya tidak melakukan perbuatan seperti yang diisukan, King pun berupaya membantahnya. Salah satu caranya dengan mengembalikan seluruh sisa uang sewa kepada para tenant. Akhirnya, ”Khalayak mengerti juga bahwa semua isu itu tidak benar,” ujarnya. King pun membiarkan gedung pertokoan ini teronggok menjadi puing-puing hingga beberapa tahun kemudian. Alasannya, yang utama karena krisis ekonomi dan kerusuhan massal yang meletup di Jakarta pada Mei 1998. Selain itu, karena peluang bermain di sektor ini yang makin menyempit pasca-menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan baru di Ibu Kota. Kendati begitu, bukan berarti selama 11 tahun King berdiam diri. Baginya, meninggalkan bisnis properti bukan berarti kata akhir di dunia bisnis. Terpuruk di properti, ia mencari peluang lain. Maka, mulailah King merambah ke berbagai bidang usaha, di antaranya menjadi supplier peralatan kesehatan, kertas, dan pabrik pipa fiberglass yang bercokol di kawasan Narogong, Bekasi (PT Gunung Putri Graha Mas). Selain itu, sejak 1980, ia mulai merintis bisnis tanah, bahkan beberapa di antaranya bermitra dengan sejumlah pejabat tinggi. Pelan tapi pasti, berbagai usahanya itu terus berkembang. Dari hasilnya, sedikit demi sedikit ia mulai melunasi seluruh utangnya. ”Memang, saat itu saya tidak mendapat fasilitas hair cut,” katanya. Seluruh kewajibannya itu bisa diselesaikan dalam tempo enam tahun pasca-King Plaza terbakar. PERNAH JADI TUKANG SAMPAH Setelah seluruh kewajibannya lunas, ayah dari tiga orang anak ini mulai berkonsentrasi mencari peluang yang bisa dikembangkan di lahan bekas reruntuhan King Plaza. Dan niat mendirikan menara kembar itu, baru terlaksana tahun ini. Keputusannya ini, katanya, murni atas dasar pertimbangan bisnis. Di antaranya karena letaknya yang sangat strategis. Pemandangan (view) yang bisa dinikmati dari menara kembar itu pun sangat menarik. Sebagai ”menara” tertinggi di pusat kota, para penghuninya bisa melihat suasana kota Jakarta secara bebas, alias tanpa hambatan. Bermain menjadi pengembang apartemen, menurut King, bukannya tanpa kendala. Terutama menyangkut citra, gara-gara ulah segelintir pengembang nakal, respons pasar pun jadi melambat. Seperti lazimnya, para pembeli telah membayar di muka kendati apartemennya masih dalam proses pembangunan. Belakangan mereka kecewa, bahkan merasa tertipu karena apartemen yang sudah dipesannya tak kunjung jadi. Citra negatif seperti itu pun akhirnya meluas dan mengena ke pengembang lainnya. Oleh karena itu, King harus berjuang keras membangun kembali kepercayaan pasar. Salah satu kiatnya, ”Terjual atau tidak, Pasar Baru Residence harus tetap berdiri,” katanya. Untuk menjalankan tekadnya itu, selain berharap pembayaran di muka dari kalangan pembelinya, King juga mendapat dukungan pinjaman (Rp 70 miliar) dari bank. Berdagang bagi King adalah warisan keluarga. Di antaranya tanah yang di Pasar Baru itu, sejatinya milik keluarganya yang pedagang mesin jahit. Pada awalnya, mereka hanya menguasai 1.700 meter persegi. Seiring dengan aset usahanya yang terus berkembang, aset tanahnya pun bertambah hingga seluas 7.700 meter persegi. Baru pada 1989, mereka mendirikan King Plaza. King Yuwono adalah pengusaha kelahiran Malang, Jawa Timur. Karirnya di dunia bisnis diawali ketika pria yang kini berusia 56 tahun ini menyelesaikan studinya (teknik mesin) di Universitas Carolo-Wilhelmina, Braunschweig, Jerman. Belajar selama 10 tahun di negeri rantau, untuk menopang hidupnya, ia harus nyambi bekerja. Ia pernah kerja paruh waktu di beberapa kantor, tapi sekali waktu turun ke jalan menjadi tukang sampah. ”Saya memang tidak gengsian,” ujarnya. Sekembalinya di Tanah Air (1981), anak keempat dari tujuh bersaudara ini mengikuti jejak kakaknya, berbisnis tanah. Kini, selain bidang properti, bisnis baru yang tengah dirintisnya adalah memproduksi tabung gas elpiji berukuran 3 kg. Diakui King, tabung buatannya sudah mendapat izin dari Pertamina untuk dipasarkan. Keunggulannya, tabung ini dibuat dari fiber komposit. Selain lebih ringan, kuat, dan tak mudah meledak, bentuknya pun transparan, sehingga pemakainya bisa mengontrol isinya. Harganya pun relatif sama dengan tabung gas baja yang ada di pasaran saat ini. Dari pabriknya di Bekasi, setiap tahunnya bisa dihasilkan 1 juta unit tabung. Untuk itu, King telah menyiapkan 10 mesin pembuat tabung yang diimpor dari Jerman. Investasi untuk seluruh mesin itu lebih dari US$ 1 juta. Soal pemasarannya, King telah menggandeng sebuah perusahaan yang berpengalaman di bidang migas sebagai mitranya. Langkah itu perlu dilakukannya, karena bila dipasarkan menggunakan nama perusahaannya, ”Belum tentu laku,” ujarnya. Dasar pedagang, banyak akalnya. sumber: majalahtrust.com |
Rabu, 16 November 2011
KING YUWONO, "Mencoba Bangkit dari Keterpurukan"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar